Museum Nasional memiliki cukup banyak koleksi arca batu bermuka gajah. Arca-arca tersebut tersebar di sejumlah tempat. Sebagian besar berada dalam sikap duduk (kurmasana). Hanya dua buah yang bersikap berdiri (stanakha). Arca bermuka gajah itu disebut Ganesha.
Di antara sejumlah arca Ganesha, yang dianggap koleksi adikarya adalah arca yang berasal dari Candi Banon, Jawa Tengah. Arca itu berasal dari abad ke-8, dengan tinggi sekitar 150 sentimeter.
Arca Ganesha tersebut terbuat dari batu tunggal. Hasil pahatannya sangat halus dan detail sekali, sehingga mengundang kekaguman para pakar sejarah kesenian dan masyarakat awam. Bahkan mereka sering membelai atau mengelus belalai Ganesha. Tak lain maksudnya supaya pintar karena Ganesha dikenal sebagai dewa ilmu pengetahuan, sebagaimana kita lihat pada lambang ITB, sebuah perguruan tinggi di Bandung.
Dewa ilmu pengetahuan
Ganesha adalah anak Dewa Siwa. Dalam agama Hindu, Ganesha dianggap setengah manusia dan setengah dewa.
Penggambaran Ganesha selalu berbeda dalam bentuk, gaya seni, dan langgam. Namun ciri utama Ganesha tetap sama, yakni memiliki belalai yang sedang mengisap isi mangkok dalam genggaman tangan depannya.
Menurut mitologi, mangkok tersebut berisi cairan ilmu pengetahuan yang tidak habis-habisnya walaupun diisap terus-menerus olehnya. Hal inilah yang kemudian diidentikkan dengan ilmu pengetahuan, yang tak pernah habis digali dan tak pernah henti digarap.
Ganesha juga dipuja sebagai dewa penyingkir segala rintangan, baik gangguan gaib (magis) maupun gangguan fisik. Ini karena Ganesha memiliki wahana atau kendaraan tunggangan berupa tikus (musaka). Musaka merupakan simbol dari keangkuhan diri. Jadi diharapkan musaka itu akan berperan sebagai pengendali dari keangkuhan seseorang.
Bahkan tikus dapat melewati segala rintangan di lokasi mana pun, seperti di dalam rumah, sawah, dan selokan. Begitu yang diharapkan dari Ganesha, karena gajah mampu mendobrak segala pepohonan di hutan dengan tubuhnya yang gagah dan kuat. Pepohonan diibaratkan berbagai masalah besar.
Mitologi
Ganesha banyak dikupas sejumlah sumber kuno. Versi yang paling dikenal terdapat dalam kitab Smaradahana.
Dikisahkan, suatu ketika Kadewataan akan diserang oleh para raksasa pimpinan Nila Rudraka. Karena para dewa tidak mampu menghadapi para raksasa itu, mereka bersepakat untuk meminta bantuan kepada Dewa Siwa yang ketika itu sedang bertapa. Mereka menunjuk Dewa Kamajaya untuk membangunkan Dewa Siwa dari pertapaannya itu.
Dewa Kamajaya segera mengeluarkan senjata andalannya, yakni panah pancavisaya. Senjata ini terkenal sangat ampuh untuk membangkitkan birahi dan rasa rindu. Setelah terkena panah itu, Dewa Siwa pun rindu kepada isterinya, Dewi Uma, yang berada di Kadewataan. Akhirnya, Dewi Uma hamil.
Suatu saat, para dewa menghadap Dewa Siwa untuk mengabarkan bahwa tentara Nila Rudraka hampir mendekati Kadewataan. Di antara para dewa itu terdapat Dewa Indra yang menaiki gajah Airavata yang gagah dan sangat besar. Tanpa disangka, Dewi Uma yang sedang hamil tua sangat ketakutan melihat gajah itu sehingga dia jatuh pingsan.
Kemudian Dewi Uma melahirkan anak yang berkepala gajah dan berbadan manusia. Anak itu diberi nama Ganesha, dimaksudkan agar segera mempunyai kekuatan yang luar biasa untuk mengalahkan para raksasa jahat.
Ketika dilibatkan dalam peperangan, mula-mula Ganesha mengalahkan para tentara raksasa. Setelah semuanya mati, Ganesha berhadapan langsung dengan pimpinan tentara raksasa jahat, yaitu Nila Rudraka.
Duel yang maha dahsyat pun terjadi di antara keduanya. Semakin sengit duel itu, ternyata tubuh Ganesha semakin besar. Pada suatu ketika Nila Rudraka berhasil mematahkan salah satu gading Ganesha. Sambil memegangi patahan gadingnya lalu Ganesha mengeluarkan senjata andalannya, yaitu parasu (kapak pendek). Dengan senjata itu akhirnya Ganesha dapat membinasakan Nila Rudraka.
Sesuai mitologi ini, maka dalam pengarcaannya Ganesha selalu ditampilkan memegang patahan gading di salah satu tangannya (ada yang di tangan kanan, ada pula di tangan kiri) dan parasu di tangan yang lain. Dua tangan lainnya memegang aksamala (tasbih) dan mangkok. Ganesha bertangan empat, sebagai pertanda bahwa kemampuan Ganesha melebihi manusia biasa. Sebagian seniman justru menggambarkan gading Ganesha dalam keadaan lengkap. Namun yang paling banyak dijumpai adalah Ganesha bergading satu (disebut ekadanta).
Ganesha juga dipuja sebagai dewa kebijaksanaan dan kesenian. Bahkan di negara asalnya, India, Ganesha dipandang sebagai dewa keberuntungan dan kemakmuran karena dalam penggambarannya Ganesha memerlihatkan perut yang besar.
Kebanyakan arca Ganesha koleksi Museum Nasional berasal dari masa Kadiri dan Singhasari. Tempat asalnya adalah sejumlah candi yang sudah rusak atau berantakan di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur. Dalam dunia ikonografi (ilmu yang mempelajari arca kuno), arca yang berasal dari masa Singhasari dipandang lebih halus buatannya daripada arca-arca lainnya.
Tinggalkan komentar